
Kota Bandar Lampung, 18 September 2025 - Peringatan “September Hitam” kembali digaungkan oleh puluhan massa aksi yang terdiri dari Forum Literatur, LBH Bandar Lampung, Walhi Lampung, Sp Sebay, Sindikat Baca, UMKF Mahkamah, LMID Lampung, IKMAPAL, BEM U KBM Unila, BEM FH Unila, BEM Polinela, BEM Poltekkes Tanjung Karang, BEM Darmajaya, dan BEM FH UBL. Aksi ini menjadi suara perlawanan terhadap impunitas dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terus berlangsung di Indonesia. Dalam aksi yang berlangsung damai ini, para peserta menuntut negara agar segera menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat dan memberikan keadilan bagi para korban serta keluarganya.
Sebelum orasi dimulai, massa melakukan aksi diam selama lima menit dengan berdiri membawa payung hitam sebagai simbol perlawanan dan duka atas ketidakadilan yang terus dibiarkan oleh negara. Poster-poster bertuliskan “#SeptemberHitam”, “#PapuaLivesMatter”, hingga “Lawan Kriminalisasi Rakyat Sipil” turut diangkat untuk menegaskan bahwa sejarah kelam bangsa belum juga dituntaskan.
Tuntutan Aksi Kamisan:
- Mendesak pemerintah membuka kembali kasus-kasus pelanggaran HAM
- Tolak impunitas, adili para pelaku dan aktor negara
- Menuntut pemerintah memulihkan hak-hak korban
- Melindungi dan membebaskan ruang demokrasi dan kebebasan sipil
- Mengadili pelaku pelanggaran HAM berat
- Pernyataan Akademisi dan Aktivis
“Sulitnya akses pekerjaan, pendidikan, dan layanan kesehatan, serta represifitas terhadap kebebasan sipil merupakan bentuk nyata kegagalan negara dalam menjalankan mandat konstitusi,” tegas Fuad.
Ia juga mengkritik kebijakan kontroversial pemerintah yang memangkas subsidi sektor strategis, sementara anggaran infrastruktur dan militer tetap dipertahankan.
Haykal Rasyid dari Forum Literatur menambahkan bahwa Aksi Kamisan merupakan suara yang tidak bisa dipadamkan oleh waktu.
“Kita memperingati bulan ini sebagai bulan nestapa. Mulai dari pembantaian 1965, Tanjung Priok, hingga Semanggi I dan II — tidak ada satu pun aktor pelanggar HAM yang benar-benar diadili,” kata Haykal.
Ia mengecam pemberian penghargaan kepada tokoh-tokoh yang diduga terlibat pelanggaran HAM oleh Presiden pada Agustus 2025, menyebutnya sebagai bentuk pengkhianatan terhadap keadilan.
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa sepanjang aksi masyarakat pada 25–30 Agustus 2025, terjadi pelanggaran berat oleh aparat: 3.337 orang ditangkap, 1.042 luka-luka, dan 10 tewas akibat tindakan represif.
Khairil Amri, Menteri Lingkungan Hidup BEM Universitas Lampung, turut menyoroti lemahnya supremasi sipil di Indonesia.
“UU TNI dan RUU POLRI justru memperbesar peluang militer menguasai jabatan sipil dan mempersempit ruang demokrasi,” tegasnya.
Khairil juga mendesak Menteri Koordinator Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, untuk segera mengusut kasus hilangnya dua aktivis dan membebaskan aktivis yang ditangkap secara semena-mena.
Aksi Kamisan tetap menjadi simbol konsistensi perlawanan terhadap negara yang abai terhadap HAM. Dalam momen “September Hitam” ini, suara-suara yang menuntut keadilan dan penegakan hukum terus digaungkan oleh mahasiswa, akademisi, dan masyarakat sipil.
Peringatan ini bukan hanya bentuk duka atas sejarah kelam, tapi juga seruan keras agar bangsa ini tidak terus mengabaikan luka lama yang belum sembuh. Selama negara masih memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM, perjuangan ini belum akan usai.
0Komentar